Rabu, 09 Mei 2012

Biografi UNGU






Ungu adalah grup musik Indonesia yang beranggotakan :
Pasha (penyanyi)
Makki (bass)
Enda (gitar)
 Oncy (gitar)
Rowman (drum)
. Sampai tahun 2007 mereka telah menghasilkan 4 album dan 2 album mini.

Ungu terbentuk tahun 1996. Motor pembentuknya adalah Ekky (gitar) dan saat itu vokalisnya adalah Michael, sedangkan drum dipegang oleh Pasha Van derr Krabb. Tahun 1997, saat Ungu hendak manggung, Pasha Van derr Krabb 'menghilang' dan posisinya digantikan oleh Rowman. Enda yang sebelumnya adalah roadies-nya Ekky juga ikut bergabung dengan Ungu.

Tahun 2000, Ungu mulai mempersiapkan album pertama mereka, yang akhirnya dirilis 6 Juli 2002 bertajuk Laguku. Sebelumnya, Ungu ikut mengisi 2 lagu di album kompilasi Klik bersama Lakuna, Borneo, Piknik, dan Energy. Ke dua lagu tersebut adalah "Hasrat" dan "Bunga". Single pertama album ini, "Bayang Semu" menjadi original soundtrack sinetron ABG (RCTI). Meski terbilang sukses, album ini baru mendapat Platinum Award setelah hampir 2 tahun album ini dirilis.

Saat hendak masuk dapur rekaman untuk album kedua, Ekky memutuskan keluar. Oncy yang saat itu baru keluar dari Funky Kopral dipilih untuk menggantikan Ekky. Album kedua Ungu Tempat Terindah dirilis Desember 2003. Album ini menjagokan "Karena Dia Kamu" sebagai single pertama dan "Suara Hati" dipilih sebagai single kedua. Baru empat bulan dirilis, penjualannya telah mencapai 80.000 (delapan puluh ribu) kopi. Jumlah yang cukup signifikan jika dibandingkan dengan album pertama yang 'telah' mendapatkan platinum (150.000 kopi) dalam hitungan waktu satu setengah tahun.

Pada tahun 2005, Ungu menjadi salah satu artis yang berkolaborasi dengan Chrisye di album terbaru Chrisye, "Senyawa".

Album Melayang dirilis Desember 2005. Di albumnya yang ketiga dengan single "Demi Waktu", Ungu mendapat double platinum. Dengan hits Demi Waktu mengantarkan Ungu jadi MTV Exclusive Artis di bulan Desember 2005. Gaung "Demi Waktu" merambah negeri Jiran, Malaysia. Empat perusahaan label berebut untuk mendapatkan hak edar di sana. SRC, perusahaan yang menaungi Siti Nurhaliza akhirnya keluar sebagai pemenang.

Ungu mengeluarkan sebuah mini album untuk menyambut Ramadhan 1427 H bertajuk SurgaMu yang dirilis September 2006. Hanya dalam tempo sepuluh hari sejak rilis mini album SurgaMu, telah terjual sebanyak 150 ribu keping. Bahkan Wakil Presiden Yusuf Kalla memberi penghargaan 'Inspiring' atas album religi SurgaMu. Sayangnya, saat hendak menerima penghargaan di istana Wapres, Ungu yang mengenakan setelah jas yang dipadu celana jeans ditolak masuk ke dalam istana, dengan alasan pakaian yang tak sesuai dengan protokoler istana.

Dalam Penghargaan MTV Indonesia 2006, Ungu masuk dalam 3 nominasi, yaitu Most Favorite Group/Band/Duo, Best Director "Demi Waktu" Abimael Gandy, dan Video of the Year "Demi Waktu".

Ungu dengan dukungan "A Mild Live Productions" dan "Trinity Optima Production" membuat buku biografi. Buku yang diberi judul "A Mild Live Ungu Book Magazine" itu diluncurkan pada Kamis, 10 Mei 2007, di Jakarta. Dicetak sebanyak 40 ribu eksemplar, buku tersebut memuat biografi masing-masing personel, diskografi Ungu, foto-foto, dan bahkan chord lagu-lagu Ungu.

Ungu juga sering terlibat dalam pembuatan album soundtrack. Ungu pernah menyumbangkan lagu untuk film Buruan Cium Gue yang dilarang edar. Ungu pun menyumbangkan 3 buah lagu untuk film Coklat Stroberi yakni dua lagu baru, "Disini Untukmu" dan "Sahabatku", serta mengikutkan lagu "Berjanjilah" dari album ketiga mereka Melayang.

Dalam ajang "SCTV Music Awards 2007" di Balai Sidang Jakarta (JHCC), Ungu mendapat 4 kemenangan. Album SurgaMu yang diproduseri Trinity/Prosound membawa Ungu menjadi penerima penghargaan 'Album Religi', 'Lagu Paling Ngetop' dan 'Video Klip Paling Ngetop' untuk lagu "Andai Kutahu". Sedangkan Melayang dengan lagu andalan "Tercipta Untukmu" memenangkan kategori 'Album Pop Rock Duo/Grup'.

Ungu kembali merilis album reguler keempatnya bertajuk Untukmu Selamanya. Album ini di-launching di empat negara sekaligus, yaitu 9 Agustus 2007 di Kuala Lumpur, Malaysia, 10 Agustus 2007 di Singapura, 12 Agustus 2007 Hongkong dan puncaknya 15 Agustus 2007 di Jakarta, Indonesia. Lagu andalan dalam album ini antara lain, "Kekasih Gelapku", "Cinta dalam Hati", "Apalah Arti Cinta" dan "Ijinkan Aku".

Menyambut Ramadhan 1428 H, Ungu merilis album religi lagi yang berbentuk mini album bertajuk Para Pencari-Mu. Dalam album ini Ungu berkolaborasi dengan ustad Jeffry Al Buchori. Album ini hanya berisi lima lagu, yaitu "Para PencariMu", "Sembah Sujudku", "Surga Hati", "Sesungguhnya", dan "Tuhanku". Sebelum mini album ini dirilis, tiga dari lima lagu telah terpilih sebagai soundtrack sinetron religi yang tayang selama Bulan Ramadhan.

Ungu kembali meraih penghargaan untuk kategori 'Band Ngetop' di ajang SCTV Music Awards 2007, yang berlangsung di JCC Senayan Jakarta, Jumat, 24 Agustus 2007. Dalam ajang itu, Ungu berhasil menyisihkan grup band lainnya, seperti Ada Band, Peterpan, Radja, dan pendatang baru yang mendadak populer, Kangen Band. Pada tahun 2007, Ungu bersama Samsons dan Naff, dijuluki 'The Rising Star' band oleh penyelenggara konser musik akbar Soundrenaline, A Mild Live Productions dan Deteksi Productions, juga oleh raksasa label rekaman Musica Studio.

Pada tahun 2012, Ungu meluncurkan sebuah album yang diberi judul Timeless. Album ini hanya dijual di gerai KFC di seluruh Indonesia. Ungu juga termasuk musisi yang sukes menjual albumnya di gerai KFC seperti Cinta Laura, Indah Dewi Pertiwi, Agnes Monica, SM*SH, T.R.I.A.D, Rossa, Slank, Last Child, Ello, Sammy Simorangkir dan Armada.

Kasus

Ketenaran, selain membawa penggemar yang banyak, juga menimbulkan dampak negatif. Seringkali konser Ungu 'memakan' korban. Saat konser di Mojokerto, Jawa Timur, 30 Maret 2006, puluhan wanita pingsan. Sembilan bulan kemudian, tepatnya 19 Desember 2006, konser "Popcoholic with Ungu" di Stadion Widya Mandala Krida, Kedungwuni, Pekalongan berakhir dengan kericuhan yang mengakibatkan 10 orang meninggal dunia dan enam lainnya luka serius karena terinjak-injak dan kekurangan oksigen ketika puluhan ribu orang berdesakan keluar usai menyaksikan konser mereka.

Kehidupan religius dan sosial

Selain mengeluarkan 2 album religi, pada pertengahan 2007, kelima personel Ungu bersama-sama menunaikan ibadah umroh untuk pertama kalinya. Ungu pun berupaya menciptakan hubungan yang lebih intim dengan penggemarnya, dengan memberikan beasiswa kepada lima penggemar Ungu yang kurang mampu.

Diskografi


Album Studio

2002: Laguku
2003: Tempat Terindah
2005: Melayang
2007: Untukmu Selamanya
2009: Penguasa Hati
2010: 1000 Kisah Satu Hati
2011: Demo Version
2012: Timeless

Album Religi

2006: SurgaMu
2007: Para Pencari Mu
2008: Aku dan Tuhanku
2009: Maha Besar

Album Soundtrack

2007: Coklat Stroberi
2008: Ayat Ayat Cinta
2009: Sang Pemimpi

Album Kompilasi

2000: Klik
2004: Senyawa
2005: From Us To U
2006: Duets By Request

Single

2010: 1000 Malam
2011: Maafkan Aku, Penghujung Cintaku, Ku Pinang Kau Dengan Bismillah, Selamat Jalan Kekasih
2012: Yogyakarta, Makassar Kota Daeng
2012: " Sayang"

Iklan

Relaxa (2005)
Telkomsel (2007)
Venera (2010)
Garnier (2011)
Nissan Juke (2011)
Nexian {2011}
Kopi Kuku Bima Gingseng (2012)

Filmografi

Purple Love (2011)

Sumber : STAFA BAND

Rabu, 02 Mei 2012

Music & Lyric Pahami & Mengerti Aku

By : YudySt


 Andai kau bisa rasa apa yang ku rasa ini
Keadaanku kini membuatku lemah tak berdaya
Ku memang bukanlah siapa-siapa bagi dirimu
Tapi tolonglah hargai aku dan perasaan ini

Aku kira kau mengerti keinginanku
Tuk miliki kamu, dapatkan kamu untukku
Aku kira kau bisa jadi yang ku inginkan
Hingga kuperjuangkan cintaku untukmu

Ku memang bukanlah siapa-siapa bagi dirimu
Tapi tolonglah hargai aku dan perasaan ini

Aku kira kau mengerti keinginanku
Tuk miliki kamu, dapatkan kamu untukku
Aku kira kau bisa jadi yang kuinginkan
Hingga kuperjuangkan cintaku untukmu

Aku kira kau mengerti keinginanku
Tuk miliki kamu, dapatkan kamu untukku
Aku kira kau bisa jadi yang kuinginkan
Hingga kuperjuangkan cintaku untukmu
Aku memang bukan yang terbaik untukmu
Aku ingin kau menyadari perasaan ini
Pahamilah aku dan mengertilah cintaku

Download lagu nya disini:
KLIK DISINI
Thanks ^_^

Ayah, Mengapa Aku Berbeda? Bag. 3 (Aku Berbeda)

Aku mungkin tidak akan pernah menyadari bahwa aku berbeda dengan orang-orang yang ada di sampingku. Semuanya mulai kupahami, saat aku sadar bahwa aku tidaklah sama dengan anak-anak lain yang kulihat. Ketika berjalan bersama  Nenek di halaman rumahku, mereka dapat berbicara dengan mulutnya dan mendengar apa yang sulit kupahami. Aku tidak mengerti apa itu yang disebut dengan pendengaran.  Alat indra yang satu ini tidak pernah ada dalam hidupku. Bahkan aku tak bisa mendengar suaraku sendiri.
Aku memiliki telinga dan fisikku tumbuh dengan baik saat berusia lima tahun, tapi itu hanya tampak dari luar.  Sesungguhnya aku tidak pernah bisa mendengar apapun selain suara hatiku sendiri.  Ayah yang  dari sejak awal menyadari aku cacat, tidak pernah mau mengatakan kalau aku adalah seorang gadis cacat. Ia dan Nenek memperlakukanku selayaknya  gadis  normal sejak dua tahun sebelumnya, setelah mendapatkan informasi dari Dokter Intan tentang pelatih tunarungu.
Ayah langsung menghubungi pelatih itu yang  notabene seorang ibu yang tampak sudah tua.  Ia datang setiap hari  ke rumahku   untuk memberikan pelajaran kepada  Ayah dan  Nenek tentang bagaimana  cara berkomunikasi  denganku. Ayah dengan  giat belajar pada ibu baik hati yang kupanggil Bibi Anggun itu. Yang aku tahu, ia memiliki seorang anak yang juga tunarungu. Jadi,  ia memiliki perasaan senasib dengan orang tua yang juga memiliki seorang anak tunarungu Baginya, menjadi pelatih orang tua tunarungu adalah cara  untuk berbakti sosial.
Setiap hari setelah pulang kerja, Ayah belajar pada Bibi Anggun. Nenek juga ikut serta, sedangkan aku malah asyik bermain boneka tanpa menyadari bahwa kelak akupun akan mempelajari bahasa tangan dari Ayah. Ia dengan cepat mengerti sedikit demi sedikit hal-hal yang harus ia ajarkan padaku. Ia tidak mengajarkan aku secara keras, tapi ia menggunakan sedikit permainan. Misalnya, apabila ia ingin mengatakan padaku bahwa ini adalah seekor kelinci, ia akan menunjukkan dengan tangannya lalu memperagakannya padaku.
Aku yang saat itu masih kecil mengikuti saja apa yang Ayah ajarkan walau itu sulit. Terkadang aku malah asyik bersama bonekaku, namun akhirnya lama-kelamaan aku terbiasa untuk mengerti maksud Ayah. Aku mulai mengerti bagaimana caranya untuk meminta minum pada Nenek, ingin bermain atau bahkan ke toilet agar tidak buang air kecil di celanaku.  Dua tahun adalah masa-masa yang sangat sulit bagi Ayah, karena ia menghabiskan banyak waktunya  untukku dengan setulus hati dan tanpa lelah.
Setelah umurku cukup, Ayah menyekolahkanku di Sekolah Luar Biasa dimana aku merasa sangat nyaman dan bertemu orang-orang yang sama denganku. Aku memiliki banyak teman sepermainan yang mengerti apa yang hendak aku katakan lewat bahasa tanganku. Di sekolah ini,  setiap harinya aku menghabiskan waktu selama lima jam dari pagi hingga siang hari sampai Nenek menjemputkupulang. Sedangkan pada pagi hari Ayahlah yang bertugas mengantarkanku sebelum akhirnya melanjutkan pergi ke kantornya.
Aku memiliki banyak guru yang baik hati dan sabar untuk mengajari kami anak-anak tunarungu, dengan sepenuh hati. Sahabat-sahabat kecilku saat itu semuanya sangat baik. Ada Lina yang umurnya setahun lebih tua dariku atau Andri yang  sudah berumur sepuluh  tahun tapi masih perlu belajar banyak bahasa isyarat tangan. Rasanya, aku selalu ingin bersama teman-temanku ketika pulang dari sekolah. Namun kini, duniaku sudah berubah. Aku tidak punya teman untuk berbagi cerita selain Nenek yang terkadang sibuk dengan pesanan tetangga-tetangga yang menyukai rotinya.
Pernah suatu ketika, aku mencoba untuk keluar dari rumahku seorang diri  saat  Nenek sedang asyik membuat roti dan pintu terbuka lebar. Aku selalu mengingat jalan menuju sekolahku dan berpikir untuk sekali-sekali berjalan ke sekitar taman komplek. Di sana banyak mainan yang disediakan untuk anak-anak. Ada sekolam pasir, ayunan dan kincir angin kecil yang sesungguhnya membuatku begitu ingin mencobanya.
Saat aku tiba di taman, ada sekumpulan anak yang sedang bermain dan perawat yang menjaga tak jauh dari mereka. Aku mendekat dan langsung mencoba ayunan yang kosong. Namun tanpa aku sadari, ada seorang anak laki-laki menunggu giliran dan melihat ke arahku.  Ia terus berteriak padaku namun aku hanya terus mengayun tanpa henti. Karena kesal, ia pun menahan tali pengikat ayunan dan aku agak terkejut sambil memperhatikannya.
Dia berteriak padaku.
“Gantian dong, ini kan mainan bersama!”
Aku tidak mengerti apa yang ia katakana, jadi kuteruskan bermain. Kemudian ia menangis  karena merasa aku terlalu egois sehingga anak-anak lain pun berkumpul.  Semua melihatku  dengan tatapan aneh dan aku merasa seperti seekor harimau  di atas panggung sirkus. Aku berhenti dan memperhatikan mereka. Semua saling bicara satu sama lain, sedangkan aku hanya bisa terdiam seperti merasa ada sebuah penolakan padaku.
“Ini kan anak cacat yang tinggal di samping komplek,” kata seorang anak perempuan yang tinggal tak jauh dari rumahku.
“O… jadi dia cacat. Sudah cacat jahat lagi tidak mau gentian main, kasihan Hendra nangis gara-gara anak cacat ini, kita laporin suster yuk!” ujar salah satu anak laki-laki lain. Aku baru menyadari bahwa anak yang menangis itu bernama Hendra.
Perawat yang mereka sebut suster itu mendekatiku.  Aku menjadi ketakutan. Semua berteriak bahwa aku jahat seolah aku ini maling. Walau aku tidak mengerti apa yang mereka katakan tapi tatapan mereka terlihat seperti  tidak menyukaiku,. Akhirnya aku pun berjalan meninggalkan tempat itu sebelum perawat itu datang padaku. Mereka terus berteriak menghinaku tapi perawat mereka justru hanya terdiam.
“Anak cacat jangan kembali, anak cacat jangan kembali,” teriak mereka berulang-ulang.
Aku menoleh ke belakang  dan pada saat itu juga hatiku pun sedih. Andai saja aku mengerti apa yang mereka katakan, pasti aku akan lebih sedih lagi. Aku pulang dan melihat  Nenek begitu cemas menungguiku. Ia menarik tanganku masuk ke rumah dan bertanya padaku lewat bahasa tangan.
“Kamu darimana Angel? Nenek cemas mencari – cari kamu!”
“Nenek, mengapa aku tidak bisa mengerti apa yang anak-anak lain bicarakan? Kenapa mereka mengusirku dan menunjukkan wajah yang tidak baik padaku?”
“Anak-anak mana?”
“Anak-anak di taman komplek,” ujarku sedih.
“Jadi kamu habis dari sana? Untuk apa?”
“Aku hanya ingin bermain ayunan, tapi mereka tidak suka padaku.”
Nenek lalu menarik tanganku dan membawaku ke taman tempat tadi aku bermain, kemudian  Nenek berteriak pada anak-anak itu.
“Siapa yang melarang cucuku bermain di taman ini?”
Semua terdiam dan berhenti bermain mendengar suara Nenek yang cukup terlihat marah dari wajahnya. Seorang perawat mendekati Nenek dan mencoba menjelaskan,
“Kenapa Nek?”
“Siapa yang melarang cucuku untuk bermain disini?”
Akhirnya suster itu menjelaskan sesuatu kepada  Nenek,  sedangkan anak-anak lain tampak ketakutan  bahkan sebagian pergi meninggalkan taman.  Aku melihat mereka pergi dan langsung mendekati ayunan. Saat itu aku langsung duduk dan mengayun diriku sendiri. Nenek sepertinya mulai menyadari persoalannya dan terlihat lebih tenang dari sebelumnya setelah perawat itu menjelaskan beberapa hal. Setelah perawat itu pergi,  Nenek mendekatiku. Ia terlihat begitu murung, perlahan ia membantuku untuk mendorong ayunan.
Aku tersenyum padanya dan berkata untuk lebih cepat. Nenek dengan senang hati melakukan apa yang aku inginkan. Aku tertawa  kegirangan karena akhirnya bisa menikmati ayunan yang semakin kencang dan merasakan angin menyentuh tubuhku dan membuat rambutku berterbangan. Nenek berhenti mengayun dan melepas kacamatanya, air matanya terjatuh dan ia  hapus dengan perlahan. Saat ayunan berhenti,  aku menoleh ke arah  Nenek di belakangku. Karena aku melihat Nenek menangis, maka  kuhentikan ayunan dan mendekatinya.
“Kenapa Nenek menangis?” tanyaku.
“Tidak apa-apa. Sudah puas mainnya?”
“Sudah. Ayah kapan pulang?” tanyaku lagi.
Nenek menundukkan badannya lalu mengatakan sesuatu padaku,
“Angel, lain kali kalau kamu ingin bermain ke mana pun, ajaklah Nenek. Nenek akan dengan senang hati menemani kamu.”
“Iya.”
Aku yang masih kecil itu belum menyadari mengapa Nenek berkata demikian. Karena sesungguhnya Nenek hanya bersedih di dalam hatinya. Ia sadar, bahwa cucunya yang tunarungu, memiliki dunia yang berbeda dengan anak-anak lain yang melihatku dengan aneh. Ia cemas melihat masa depanku di dunia ini, ia cemas untuk membayangkan bagaimana aku nanti hidup di dalam kehidupan bermasyarakat. Usianya yang sudah sepuh, memiliki sedikit waktu untuk menjagaku. Saat aku tiba dirumah, ia berkata padaku,
“Angel, belajarlah dengan benar di sekolah. Karena dengan begitu kamu akan bisa mengerti bagaimana cara bicara dan berkomunikasi dengan orang lain.”
“Memangnya kenapa, Nek?”
“Karena itulah cara kamu untuk belajar tentang bermain, memiliki teman dan meminta pertolongan pada orang lain.”
“Aku kan sudah punya teman di sekolah. Mereka mengerti apa yang aku katakan dan semua tampak normal?”
Nenek mungkin tidak ingin melanjutkan pembicaraan lebih dalam dan ia hanya memintaku untuk belajar lebih giat. Dalam hatinya, ia ingin berkata bahwa aku berbeda dengan orang lain yang normal. Satu-satunya cara agar aku dapat hidup bermasyarakat adalah dengan belajar untuk mengerti bagaimana cara untuk dapat hidup di dunia ini dengan keadaanku yang tidak sempurna. Tapi ia mengurungkan niat itu karena sadar bahwa aku masih terlalu kecil untuk mengerti arti kehidupan yang keras ini.
Nenekku yang baik hati, ia adalah malaikat yang selalu siap  melindungiku walau harus kusadari usianya telah senja.
***
Di sekolahku, aku mulai mempelajari bagaimana caranya berhitung, membaca dan memperhatikan mimik muka atau gerak bibir untuk manangkap maksud apa yang hendak dibicarakan  lawan bicara. Aku berpikir itulah kehidupan normal yang aku jalani dan merasa bahwa seisi kelasku juga sama dengan kondisiku, jadi aku menikmati semuanya  seiring berjalannya waktu.
Saat mengambil raport kelas setiap semester, aku selalu mendapatkan rangking satu dan itu membuat  Ayah cukup senang. Saat pengambilan raport, wali kelasku berkata kepada  Ayah,
“Angel terlalu pandai untuk bersekolah di tempat seperti ini, apakah  Bapak berpikir untuk menyekolahkannya di sekolah yang umum dan normal?”
“Tapi dia masih terlalu kecil dan saya tidak yakin.”
“Kami para guru sepakat untuk mengatakan bahwa kemampuan pendidikan Angel setara dengan anak kelas 6 SD di sekolah normal. Ia pandai berhitung, menulis dan menangkap apa yang kami bicarakan lewat mulut  juga tampak seperti anak normal lainnya. Mungkin kesulitannya hanya tidak dapat mendengar dan bicaranya kurang sempurna, tapi semua itu bukanlah masalah.”
“Lalu apa saran Ibu?”
“Semua pelajaran telah ia serap dengan baik. Walau usianya saat ini baru  delapan tahun, tapi ia sudah belajar dengan  anak usia tiga belas tahun tahun. Mungkin lebih baik ia disekolahkan di tempat yang normal. Saya yakin Angel bahkan bisa lebih pintar dari anak-anak normal lainnya.”
“Akan kami pikirkan, karena sulit untuk membayangkan Angel sekolah umum.  Saya takut ia tidak siap dan tidak bisa diterima.”
“Bapak tidak perlu  pesimis begitu. Sekarang, kami guru-guru akan fokus untuk mengajarkan Angel untuk bahasa isyarat sehingga ia dapat dengan cepat sekolah di tempat normal. Yang terpenting sekarang  adalah kita menyiapkan dia untuk ke depannya. Banyak kok anak-anak seperti Angel yang akhirnya memutuskan untuk sekolah di tempat umum dan selama ini tidak ada masalah.”
Ayah hanya terdiam kemudian kami pulang ke rumah. Ketika makan malam,  Ayah dan  Nenek berdiskusi, sepertinya Nenek sedikit tidak setuju dengan pendapat  Ayah. Ia lebih berharap aku bersekolah di tempat yang lama karena ia tidak ingin aku terluka oleh anak-anak normal lain seperti ia melihatku ketika di taman dulu. Ketika malam saatnya tidur,  Ayah mengantarkan aku hingga ke ranjang lalu mengajakku untuk bicara sebelum tidur.
“Angel, apakah kamu merasa diri kamu berbeda dengan anak-anak lain?”  tanya Ayah tampak serius.
“TIdak,” jawabku.
“Angel, apakah kamu tau, bahwa kamu adalah seorang tunarungu?”
“Tunarungu, bukannya semua teman-temanku juga tunarungu?”
“Tidak semua anak-anak yang kamu tau itu adalah tunarungu. Kamu berbeda Angel. Kamu tidak dapat mendengar dan  hanya sedikit dari anak-anak lain yang bisa mendengar. Bisa kamu pahami?”
Aku terdiam seperti tampak tidak mengerti.
“Baiklah, kalau begitu kamu  lekas tidur sana,” kata Ayah menyerah dan hendak pergi. Aku meraih tangannya sambil berkata.
“Ayah, yang aku tau tentang diriku, aku hanya ingin bersamamu. Itu saja cukup. Aku tau, aku tidak mendengar dan tidak mengerti apa itu mendengar, tapi aku merasa cukup dengan keadaanku saat ini. Aku bahagia memiliki teman-teman yang bisa bermain bersamaku. Tidak sulit buat aku bicara dengan mereka.”
“Tapi kelak kamu harus mencoba untuk hidup dengan lingkungan berbeda. Karena kamu akan terus tumbuh menjadi besar.”
“Hmm… teman-temanku juga akan tumbuh dewasa dan sama dengan kondisiku.”
“Kamu memangnya tidak ingin punya teman yang bisa mendengar?”
Aku terdiam. Belum pernah terpikir olehku memiliki teman yang bisa mendengar, malah berpikir bahwa bisa mendengar adalah sesuatu yang aneh.
“Aku tidak pernah berpikir tentang itu,” jawabku.
“Baiklah, lupakan pertanyaan  Ayah hari ini, lekas tidur. Besok kamu kan harus sekolah. Ayah tidak ingin kamu terlambat bangun. Oke?”
“Oke,” jawabku.
“Selamat malam Ayah…” ucapku pada  Ayah yang langsung menjawab dengan tersenyum.
Sejak malam itu, aku mulai berpikir tentang sebuah pertanyaan dari Ayah. Apakah aku bisa memiliki teman lain selain teman-temanku  yang tunarungu? Bagaimana rasanya memiliki teman yang bisa mendengar? Bagiku, melihat orang lain bicara adalah sesuatu yang aneh. Dalam  duniaku hanya ada satu cara untuk berkomunikasi yaitu lewat bahasa tangan. Ayah sungguh membuatku bingung dan berpikir tanpa henti dengan pertanyaan-pertanyannya.
***

kisah selanjutnya bisa kamu baca dan dapatkan di novelnya

Sumber :  KLIK DISINI

Ayah, Mengapa Aku Berbeda? Bag. 2 (Mengapa Aku Terlahir Cacat? )

Mungkin hanya Tuhan Yang Maha Tahu untuk menjawabnya. Bagaimanapun dan apapun keadaanku, inilah jalan yang harus aku lalui. Mungkin dari  sejak awal, Ayah sudah menyadari apa yang akan terjadi padaku ketika dulu sebelum aku terlahir, ia mendapat peringatan keras dari dokter untuk melarang kelahiranku. Tapi ia juga paham, Ibu yang berhati mulia seperti istrinya tidak akan pernah tega melakukan apa  yang dokter sarankan walau kematian adalah ancaman terbesar baginya.
Ibu dan Ayah, sejak dulu memang sudah harus melalui penderitaan cinta untuk bersatu. Ibuku tiga tahun lebih tua dari Ayah. Ia adalah seorang putri dari orang tua yang sukses dan kaya.  Ayahku hanya seorang anak yang terlahir dari ibu tunggal yang bekerja sebagai pembuat kue. Mereka dipertemukan oleh Takdir di saat Ayah yang mendapatkan beasiswa belajar musik di sekolah musik terkenal sedangkan Ibu adalah seorang senior di sekolah musik itu. Ibu melihat bakat Ayah yang cukup tinggi dalam bermain piano.
Ibu terkesan dengan  Ayah yang begitu mahir bermain piano. Ia secara tak sengaja mendengar permainan piano  Ayah saat hendak  masuk ke kelasnya. Bukannya masuk ke kelasnya sendiri,  ia malah terduduk di kursi kelas  Ayah. Saat  Ayah selesai bermain piano, Ibu memberikan tepuk tangan meriah pada  Ayah. Ayah yang saat itu berusia empat belas tahun hanya tersipu malu melihat ibu yang cantik memuji permainannya. Sejak saat itu mereka pun berkenalan. Dengan malu-malu, Ayah mengenalkan dirinya pada   Ibu yang usianya  tiga tahun lebih tua darinya.
“Angel…” kata  Ibu sambil pergi meninggalkan  Ayah.
Awalnya, Ayah mungkin melihat  Ibu sebagai cinta monyet pertamanya. Tapi ketika ia mulai mencoba mencari tahu tentang Ibu, hatinya langsung ciut ketika melihat  Ibu setiap hari pulang-pergi ke tempat sekolah musik dengan supir dan mobil mewah. Ia tidak punya nyali untuk mendekati Ibu dengan hanya bermodalkan sepeda butut peninggalan ayahnya. Dan ia pun tidak pernah mencoba untuk mendekati Ibu karena ia sudah sadar dari  sejak awal, hanya dalam dongeng mimpi ia bisa  mendapatkan gadis secantik  Ibu.
Beberapa waktu kemudian, tanpa sengaja Ayah melihat Ibu yang menangis di tangga sekolah musik. Saat itu ia hendak naik ke lantai atas dan berpapasan dengan Ibu yang tampak sedang  menangis. Ayah mencoba melewatinya tapi  Ibu memintanya berhenti sambil berkata,
“Memangnya kamu tidak bisa apa menghibur seorang gadis yang sedang menangis? Jangan hanya lewat dan diam saja dong!” kata  Ibu.
“Maaf, aku takut membuatmu marah, karena itu tidak ingin mengganggumu.”
“Kan kamu bisa tanya kenapa aku menangis? Gimana sih!” pinta Ibu   membuat Ayah  bingung.
“Tuh kan bingung, ayo tanya padaku kenapa aku menangis?!” teriak Ibu. Ayah menurutinya dengan gugup.
“Kenapa kamu menangis Angel?”
Ketika mendengarkan pertanyaan itu, yang  ditanya malah berteriak menangis semakin kencang. Banyak orang yang mendengar tangisan  itu langsung mendekat dan berpikir bahwa Ayah yang membuat Ibu menangis. Ayah  tampak bodoh disudutkan dengan kondisi itu, apalagi supir Ibu langsung membawa Ibu pergi begitu saja. Sejak saat itu Ayah  merasa menjadi terdakwa dan memutuskan untuk tidak sekolah musik lagi karena tidak ingin menjadi olok-olokan teman-teman sekelasnya.
Nenek bingung dengan Ayah yang tidak lagi sekolah musik, padahal ia sangat berharap mendapatkan beasiswa itu sejak lama.
“Kamu tidak sekolah musik lagi, Tin?” tanya Nenek.
“Males Bu, anak-anak orang kaya pada sombong, belajar di rumah juga sama aja. Toh itu piano tetap bisa jalan kan walau gak perlu belajar tambahan lagi?”
“Ya terserah kamu saja, yang penting kamu jangan lupa sekolah kamu yang utama, sekolah musik itu kan cuma tambahan saja.”
Menghabiskan waktu di rumah, Ayah ikut membantu Nenek menjaga toko rotinya.  Tanpa ia sangka, Angel muncul di tokonya untuk membeli kue. Ia terkejut melihat Ayah yang sudah lama ia cari dan ini adalah pertemuan yang sudah ia nantikan.
“Ternyata kamu kerja di sini ya?”
“Enggak kok, ini toko roti ibuku.”
“Oo… begitu. Martin, itu kan nama kamu?” tanya Ibu.
“Iya, Martin.”
“Kenapa kamu gak sekolah musik lagi?”
“Gapapa, aku lagi pengen bantu ibuku saja, kebetulan para pegawainya lagi pulang kampung.”
“Jadi bukan karena kejadian saat itu kan?” tanya Angel sekedar untuk mengingatkan kejadian tangisnya yang heboh di sekolah musik.
“Bu… bukan!” jawabnya gugup.
“Baiklah kalau begitu, aku beli sepuluh roti isi coklat. Tolong dibungkus!”
Ayah dengan cepat mengemas roti pesanan Ibu dan beberapa saat kemudian menyerahkan sekantung roti penuh pada Ibu. Sambil memberikan uang, Ibu berkata,
“Aku minta maaf ya atas kejadian kemarin, aku sedang ada masalah pribadi saja. Kapan-kapan kalau kamu ada waktu, aku akan jelaskan,”  ucap Ibu.
“Gapapa, dengan senang hati aku akan mendengarkan ceritamu,” kata Ayah tersipu malu.
Ibu pun pergi dari toko dan Ayah hanya terdiam bingung. Hatinya senang ketika gadis cantik itu meminta waktu untuk mendengar ceritanya. Tiba-tiba Ibu kembali lagi sambil berkata,
“Hai, besok di sekolah musik aku akan tampil. Kamu datang ya  jam  dua siang,” kata Ibu yang kemudian pergi begitu saja.
Ayah benar-benar seperti mabuk kepayang dengan permintaan  Ibu. Hatinya begitu senang hingga membuat  Nenek harus mengetuk kepalanya dengan sendok adonan hingga tersadar dari lamunan.
“Ibu, aku mau lanjutin sekolah musik lagi!” teriak Ayah.
“Lah, tadi katanya bosen, gimana sih!! Sudah jangan aneh-aneh, mandi sana! Biar Ibu yang jaga sekarang.”
“Iya tadi bosen, sekarang sudah enggak, besok aku sekolah lagi,”  kata  Ayah pergi ke dalam kamar sambil menutup kepalanya dengan bantal.
***

Keesokan harinya,  Ayah benar-benar menepati janjinya untuk melihat penampilan Ibu Ibu di sekolah musik. Saat itu banyak murid yang tampil menjalani uji kelayakan naik kelas atau level. Ayah datang  saat Ibu sedang berada di atas panggung. Banyak penonton yang begitu terhanyut oleh alunan musik piano klasik yang  Ibu mainkan. Sesekali  Ibu menolehkan wajahnya ke arah penonton dan berharap  Ayah ada di sana  hingga akhirnya setelah beberapa kali menoleh, ia menemukan  Ayah yang sedang berdiri karena tidak kebagian kursi.
Setelah musik selesai, tepuk tangan Ayah terdengar paling nyaring di antara yang lain. Ibu tertawa kecil melihat  Ayah yang memuji penampilannya. Sejak saat itu keduanya pun menjadi dekat. Mereka selalu menghabiskan waktunya di sekolah musik bersama.  Itulah cinta monyet pertama Ayah. Walau mereka tidak pernah mengatakan cinta dan menyatakan berpacaran, keduanya selalu dekat dan saling menghabiskan waktu bermain musik piano sebagai bentuk jalinan cinta mereka.
***

Cinta mereka  tidak selamanya berjalan baik. Empat bulan setelah masa-masa indah itu, Ibu harus melanjutkan pendidikannya ke Amerika yang disambut  Ayah dengan penuh kesedihan. Memang jarak cinta dan usia sangat berpangaruh terhadap hubungan mereka.  Ibu yang lulus dari bangku SMA harus melanjutkan kuliah sedangkan  Ayah justru baru saja masuk SMA. Hal-hal itulah yang akhirnya membuat mereka sulit bersama.
Ayah begitu berat melepaskan Ibu  di saat terakhir pertemuan mereka. Mereka menghabiskan waktu dengan bermain piano bersama. Di antara suara alunan piano, mereka pun bicara dengan hati yang terluka.
“Kalau aku pergi dari sini, apa kamu akan tetap sekolah piano disini?” tanya Ibu.
“Tidak, aku akan kembali membantu Ibu dan fokus pada sekolah umumku.”
“Kenapa, kamu kan suka main  piano apalagi kamu sekolah di sini kan tidak dipungut biaya?”
“Tidak ada kamu di sini itu hanya membuatku sulit untuk melupakan kenangan kita,” kata Ayah dengan wajah sedih.
“Aku mungkin tidak akan kembali,” ucap Ibu kemudian membuat Ayah kaget.
“Kenapa kamu tidak kembali? Padahal aku berjanji untuk menunggu kamu sampai kembali.”
“Semua tergantung ayahku. Ia yang memutuskan, kalaupun harus kembali itu harus setelah aku selesai kuliah, memangnya kamu sanggup apa menunggu sekian tahun?”
“Aku pasti sanggup!”
Ibu hanya tersenyum. Ia sedikit lebih dewasa untuk menahan tangis  di samping Ayah. Dan itulah saat-saat terakhir mereka bersama, dalam sebuah ruangan dan bermain piano bersama. Ibu pun pergi melanjutkan pendidikan kuliahnya di Amerika, sedangkan Ayah memutuskan keluar dari sekolah musik dan fokus pada sekolah pendidikan umumnya. Di hatinya  hanya ada satu hal: ia akan terus menunggu dan menunggu  hingga  Ibu kembali walau ia tidak pernah tahu kapan itu terjadi.
***
Lima tahun kemudian…
Ibu kembali saat usianya sudah 23 tahun. Ia mungkin sudah melupakan Ayah untuk waktu yang lama. Ayah telah menjadi seorang pemuda tampan berusia 20 tahun. Ia baru saja lulus kuliah dan bekerja pada perusahaan dimana ayahnya Ibu adalah pemiliknya. Mereka bertemu saat Ibu tidak sengaja mampir ke kantor ayahnya. Saat itu di sebuah sebuah lift, Ibu dan Ayah saling  berpapasan. Ayah tidak akan pernah lupa wajah Ibu yang cantik dan begitu pula  sebaliknya. Keduanya salah tingkah tapi bahagia dengan pertemuan itu kemudian keduanya sepakat untuk melanjutkan pertemuan itu dengan makan malam.
Ayah tidak pernah tau kalau perusahaan keuangan yang ia tempati adalah milik Ibu. Ia pun tak menyangka bahwa Ibu akan bekerja di tempat yang sama. Keduanya semakin dekat  hingga Ayah menepati janjinya kepada Ibu.
Ia tidak pernah memiliki seorang kekasih pun setelah berpisah dengan Ibu.  Lain halnya dengan Ibu yang sudah memiliki beberapa kekasih dan itu ditunjukkannya kepada Ayah lewat foto-foto saat ia bersama mantan kekasihnya di Amerika.
Ayah pun tidak peduli dengan semua itu. Baginya yang terpenting saat ini ia sudah bisa bertemu dengan Ibu  kembali dengan hati yang sepenuhnya mencintainya. Hati Ibu pun luluh melihat Ayah sebagai sosok pria sejati yang layak mendampingi hidupnya.
Sayang seribu sayang, kisah cinta mereka akhirnya sampai ke telinga Kakek. Ia marah karena tidak sudi melihat Ibu berpacaran dengan karyawan rendahannya. Ia malu dan gengsi dengan hubungan tersebut. Tanpa sebab yang jelas, Kakek memecat Ayah  hingga membuat Ibu sangat marah. Ibu pun menyadari bahwa hubungannya telah diketahui ayahnya. Ia protes padanya.
“Kenapa Ayah tidak bisa memisahkan masalah pribadi dan perkerjaan? Jangan sewenang-wenang memecat Martin, ia tidak memiliki kesalahan dan  bekerja dengan baik untuk perusahan kita!”
“Ia memang bekerja dengan baik tapi menghancurkan impian Ayah dengan baik juga terhadap kamu.”
“Angel sudah besar Ayah. Angel tau apa yang pantas Angel lakukan.”
“Pantas? Menurutmu pantas berpacaran dengan seorang karyawan rendahan dan seluruh karyawan di sini menggunjingkan ayahmu? Dimana letak urat malumu? Memangnya kamu sudah tidak laku sehingga harus pacaran dengan orang rendahan seperti itu?”
“Martin pria yang baik dan tidak serendah yang Ayah pikirkan. Kalau Martin dipecat, mulai hari ini, Angel pun angkat kaki dari perusahaan ini!”
Sejak saat itulah hubungan Ibu dan Kakek menjadi berantakan. Ibu sadar, Ayah pasti tahu mengapa ia dipecat dari perusahaan. Dengan berbesar hati ia menerima semua keputusan perusahaan dan tidak masalah baginya karena ia bisa bekerja pada perusahaan lain. Hubungan cinta itu terus berjalan tanpa sepengetahuan siapapun hingga dua tahun kemudian, mereka memutuskan untuk melanjutkan hubungan ini ke arah yang lebih serius ketika ibu berusia 25 tahun.
Ayah melamar Ibu di depan keluarganya dan langsung mendapatkan hujatan. Melihat tindakan nekad itu, kedua orang tua Ibu memutuskan untuk membawanya ke Amerika dan membuat cinta mereka terpisah. Awalnya semua berjalan dengan baik, tapi  di saat-saat terakhir sebelum keberangkatannya, Ibu berhasil melarikan diri. Ia kabur ke rumah Ayah di bawah hujan yang deras. Di samping nenek, Ibu memohon untuk tinggal bersama Ayah.
Nenek yang tidak tega dan lebih berpikiran luas akhirnya mengizinkan keduanya tinggal bersama. Karena cepat atau lambat, orang tua Ibu akan mencarinya, maka keduanya pun memutuskan untuk kabur ke kampung halaman Ayah di Semarang. Di sana mereka hidup bersama dan akhirnya merayakan pernikahan secara resmi  dengan membawa sedikit saksi-saksi yang dapat membuat sah pernikahan mereka. Ibu kembali dengan surat nikah  ke hadapan orang tuanya bersama Ayah.
Dengan wajah penuh emosi, saat itu Kakek berkata,
“Mulai saat ini, kamu bukanlah anakku lagi, pergi dari rumah ini!”
Dengan tangis, Ibu pergi meninggalkan rumah dan kemewahan miliknya. Sebelum ia pergi, adik kandung satu-satunya memberikan sedikit uang yang langsung mereka tolak. Adik Ibu memaksa dan berharap uang  itu bisa digunakan untuk masa depan keluarga kecil ini karena setelahnya, mungkin mereka tidak akan pernah bertemu lagi dengan mereka. Keluarga besar Ibu memutuskan untuk selamanya menetap di Amerika dan meninggalkan semuanya.
Simpanan uang yang diberikan adik Ibu akhirnya dijadikan bekal membangun sebuah keluarga di Semarang, kampung Ayah. Ibu membuat kursus musik secara pribadi dan Ayah berkerja di kantor keuangan.
Setahun kemudian, Ibu mulai mengandungku. Keluarga kecil itu begitu bahagia melengkapi kehidupan barunya hingga Ibu memutuskan untuk berhenti mengajar les piano dan fokus pada bayi kecil yang kelak menjadi diriku di masa depan.
Sebulan aku dalam kandungan, Ibu mulai tampak telihat aneh. Ia sering merasa sakit dan tubuhnya melemah. Ayah mulai cemas karena Ibu tidak seperti ibu hamil lainnya. Apalagi Nenek juga melihat keanehan karena semakin besar usia kandungannya, Ibu semakin terlihat tidak sehat. Ayah membawa Ibu ke dokter dan inilah hal yang paling memilukan terjadi dalam kehidupan mereka. Tanpa mereka sadari, ada hal lain dalam hidup mereka yang tidak bisa disatukan.
Ayah memiliki darah yang bertolak belakang dengan  Ibu. Ayah memiliki rhesus darah positif sedangkan  Ibu memiliki darah rhesus negatif. Dalam dunia kedokteran, kedua darah tersebut tidak diperbolehkan untuk bersama. Pernikahan yang terjadi tanpa pernah melihat apa yang membedakan mereka itu pun akhirnya menjadi masalah bagi Ibu. Ibu mengandung aku yang memiliki rhesus darah positif milik Ayah dan itu membuat tubuh Ibu menolak kandungan Ibu.
Dan akibat perbedaaan itu, usia kandungan yang semakin besar  membuat tubuh Ibu semakin menderita. Dokter menyarankan Ibu untuk mengugurkan kandungan, tapi Ibu menolak keras rencana itu. Bagi Ibu, aku adalah segalanya dalam hidup. Ayah tidak bisa melakukan apapun dan tidak juga menyarankan Ibu untuk mengugurkan  kandungannya. Karena ia tahu, Ibu begitu mencintai aku dan tidak akan pernah mau melakukan tindakan kejam itu. Tindakan  Ibu yang tegas akhirnya hanya   membuat dokter mengikuti kehendaknya tapi ia mengingatkan  Ibu bahwa Ibu  bisa kapan saja mengalami kondisi kritis bila aku dipertahankan.
Dengan bertahan di atas kesakitan dan maut yang siap kapan saja menjemput, Ibu percaya bahwa Tuhan menciptakan aku dalam hidupnya dengan penuh tujuan. Akhirnya setelah masa-masa penuh derita itu, saat usia kandungan mencapai  tujuh  bulan,  Ibu tiba-tiba pingsan tak sadarkan diri. Ayah membawanya ke dokter untuk dirawat di unit gawat darurat. Saat itu dokter memutuskan untuk mempercepat proses kelahiranku karena kondisi  Ibu  akan semakin sangat kritis bila aku terus bertahan.
Tanpa pernah melihatku saat matanya terbuka,  Ibu meninggal   saat aku benar-benar berhasil diselamatkan oleh dokter.  Ayah hanya bisa termenung sedih melihat kepergian Ibu yang begitu mendadak. Tapi ia selalu teringat janjinya pada Ibu di saat Ibu memutuskan untuk bertahan dengan aku di dalam tubuhnya.
“Anak ini… walau orang lain mengatakan tidak pantas untuk dilahirkan, bagiku ia adalah malaikat yang hidup dihatiku, Martin. Kelak ketika ia lahir, berikanlah nama Angel padanya. Karena Dokter bilang anak ini berjenis kelamin perempuan.”
“Kenapa kamu berkata begitu?”
“Karena aku takut kamu lupa untuk memberikan nama ini, jadi aku ingatkan.”
Tak pernah disangka Ayah, itulah pesan terakhir Ibu untuk Ayah sebelum ia meninggal. Ayah hanya bisa menangis dan berusaha tegar untuk kedua kalinya ia harus  ditinggalkan Ibu. Dan kini, aku mengerti mengapa aku menangis begitu kencang saat aku terlahir ke dunia ini. Mungkin karena aku menangis untuk memanggil Ibu yang telah pergi untuk mengorbankan jiwanya demi aku. Aku menangis karena aku ikut bersedih tidak pernah bisa melihatnya seperti ia tidak pernah bisa melihatku ketika terlahir…

bersambung...

Sumber : KLiK DISINI

Ayah, Mengapa Aku Berbeda? Bag. 1 (Kelahiranku)

Saat aku terlahir di dunia ini, ayahku pernah bercerita bahwa ia mendengar suara tangisku yang menjerit begitu keras. Dokter dan suster yang ikut membantu proses kelahiranku pun begitu bingung karena aku tidak berhenti menangis meski mereka sudah menimang dan menghiburku dengan berbagai cara. Awalnya, aku tidak   mengerti mengapa aku terus menangis dan tidak bisa dihentikan oleh siapapun. Suster yang bingung kemudian menyarankan dokter untuk meminta Ayah yang sedang berada  di ruang tunggu untuk melihatku.
Dengan terburu-buru, Ayah memasuki ruangan inkubator dan ia menyentuh jari pertamanya pada wajahku yang lahir prematur. Ia  menitikkan air mata melihatku dan aku pun secara ajaib berhenti menangis. Ayah mengangkat tubuh mungilku yang hanya seberat beberapa gram saja. Ia melihatku berhenti menangis. Suster-suster heran ketika suara tangisku akhirnya berubah bersuka cita. Ayah menimang tubuhku dengan lembut sambil berkata,
“Mulai saat ini hanya kamulah yang paling berharga dalam hidup Ayah…” begitu kalimat pertamanya padaku.
Ya. Aku adalah anak yang paling berharga baginya. Kelahiranku adalah dua sisi yang cukup membuat Ayah begitu tertekan antara bahagia dan duka.
Duka itu dimulai saat Ibu mengalami pendarahan hebat dan Ayah berada dalam kondisi yang sulit ketika Dokter memberikannya dua pilihan: Pertama, aku yang pergi dari dunia ini atau Ibu yang harus merelakan nyawanya.
Tanpa mempedulikan saran Ayah, Ibu memilih untuk melahirkanku daripada harus mengaborsi bayi prematur  yang  telah ia  rawat dengan penuh kasih sayang. Ia melupakan semua saran dokter demi aku: Sang janin kecil yang terus membuat nyawanya terancam.
Ayah menginginkanku di dunia ini seperti halnya Ibu. Tapi Ayah tidak ingin membuat Ibu bersedih dan bimbang melawan keputusan Ibu.  Ayah  terpaksa menerima keputusan Ibu dan berharap keduanya dapat selamat dengan mukjizat Tuhan. Di saat-saat kritis itu, dengan mengenggam erat tangan Ibu, Ayah melihat sendiri Ibu menghembuskan nafas terakhirnya. Di saat nafasnya akan berakhir, terdengar suara tangis pertamaku di dunia ini dengan senyuman terakhir Ibu yang bahagia melihat kelahiranku. Saat itulah ia pergi dariku dan Ayah.
Tuhan, aku tidak pernah mengerti mengapa aku harus menjadi beban bagi hidup ibuku. Andai saja aku tahu bahwa hidupku hanya untuk membuat ibuku menderita, mungkin aku tidak akan memilih untuk terus hidup di dunia ini.
Tapi semua rencanaNya telah digariskan lewat takdir yang mempertemukan Ibu dan ayahku. Dan oleh karena cinta merekalah aku terlahir ke dunia ini. Ayah selalu berkata  bahwa pernikahan mereka adalah hal terindah di dunia ini. Sebagai keluarga kecil  yang bahagia, tentu saja mereka berharap ingin hidup bersama hingga waktu memisahkan mereka. Tapi nyatanya perpisahan terjadi begitu singkat hanya setelah pernikahan  dua tahun itu dan kelahiranku adalah awal yang membuat dunia Ayah berubah. Kini ia menjadi orang tua tunggal bagiku.
Di saat  Ayah menimangku dengan penuh kasih, seorang suster mendekat padanya lalu bertanya dengan perlahan agar tidak membuatku kembali menangis.
“Maaf  Pak menganggu, bayi cantik ini akan diberikan nama siapa?” tanya suster itu pada Ayah.
“Angel! Berikan nama dia Angel,” kata Ayah.
Angel. Itulah namaku.
Nama yang Ayah berikan untuk mengenang Ibu yang juga bernama Angel. Mereka memiliki rahasia mengapa aku diberikan nama itu dan aku hanya akan tahu pada saat usiaku nanti sudah cukup dewasa untuk mengerti arti kehidupan.
Karena merasa nyaman, saat itu aku malah tertidur dalam timangan Ayah. Sambil menciumku, Ayah kembali memberikan aku kepada suster agar dikembalikan ke dalam ruangan inkubator supaya tubuhku merasa hangat.
***
Karena aku lahir prematur, aku harus dirawat untuk waktu yang cukup lama hingga aku bisa keluar dari Rumah Sakit. Ayah yang bingung, kemudian meminta ibunya (nenekku) untuk merawatku. Selain harus menyiapkan upacara pemakaman almarhumah Ibu,   Nenek  diharapkan dapat membantu Ayah yang harus menjalani hidup-hidup beratnya saat ini. Nenek yang tinggal di Jakarta, langsung terbang naik pesawat menuju Semarang. Ia memberikan kekuatan besar dalam hidup  Ayah saat itu. Dan darinya juga, Ayah belajar banyak akan arti keikhlasan dan harus kuat untuk melihat masa depan.
Ibu, sebelum meninggal pernah meminta Ayah untuk tidak menguburkannya tapi lebih memilih untuk  dikremasi, kemudian meminta abunya dibuang di lautan Jawa. Ayah menuruti permintaan terakhir Ibu dengan berat hati, ia menyimpan sisa-sisa abu itu dalam sebuah kotak guci kecil yang ia simpan di ruangan kamarnya dengan foto Ibu yang sedang tersenyum. Setiap malam ia selalu menyalakan lilin minyak kecil untuk mengenang Ibu. Ia tidak bisa sedih berlama-lama karena ada aku yang harus ia perjuangan untuk terus hidup.
Setelah dua bulan lamanya hidup dalam inkubator, akhirnya aku diperbolehkan untuk pulang. Bersama dengan Nenek, Ayah belajar banyak bagaimana  caranya menjadi seorang ibu. Ia mulai mengerti bagaimana untuk menganti popokku, membuatku berhenti menangis pada malam hari dan juga bagaimana memandikanku dengan benar. Tapi yang paling sulit baginya adalah membuat susu yang baik bagiku, sebab aku sangat sulit untuk minum susu bila tidak hangat atau tidak manis.
Karena tidak ada ASI ( Air Susu Ibu) dari ibu kandung, Ayah harus menambah beberapa vitamin tambahan yang diberikan dokter agar aku dapat tumbuh dengan sehat dan sempurna sesuai asupan gizi seusiaku. Bersama kedua malaikat itu, aku pun tumbuh seiring berjalannya waktu. Ayah dan Nenek  bergantian menjagaku. Bila Ayah harus bekerja, Nenek dengan siaga menjagaku dan begitu pula sebaliknya, bila  Nenek sedang beristirahat, Ayah akan menjagaku dengan sungguh-sungguh agar tidak menangis dan menganggu istirahat Nenek yang sudah berusia 55 tahun. Saat  itu usiaku baru  satu  tahun.
Aku tidak tahu betapa aku adalah bayi yang merepotkan karena Ayah bilang, saat aku kecil, selalu buang air kecil setiap popok baru terpasang.  Aku juga tidak pernah mau mendengarkan semua nyanyian yang Ayah berikan padaku ketika ia mencoba membuatku tidur. Aku juga selalu menangis dan menangis bila merasa Ayah dan Nenek kurang memanjakanku atau apa yang aku inginkan tidak mereka berikan. Semua masih baik-baik saja sampai akhirnya Ayah mulai merasa aku telat bicara, karena seharusnya usiaku saat itu (dua tahun) bahkan tidak pernah mengucapkan sepatah katapun, padahal Ayah sudah mengajarkanku beberapa kata-kata ringan seperti memanggil;
“Ayah…” atau “ Nenek…”
Sampai akhirnya ketika usiaku menginjak  tiga tahun, aku masih tidak pernah bicara apapun dan Ayah merasa ada yang aneh dengan sikapku. Terutama ketika aku tidak pernah merespon terhadap panggilannya. Ia malah berpikir aku seorang autis karena pada saat itu ia sempat mendengar perilaku balita sepertiku dapat dikatakan penderita autis. Untuk membuatku tetap ceria, Ayah memberikanku banyak mainan boneka. Aku sangat suka bermain dengan boneka-boneka yang Ayah bawakan setiap ia pulang kerja.
Sampai akhirnya pada saat aku bermain boneka, Ayah memandangku. Sedangkan Nenek saat itu sedang di dapur untuk membuat makan malam kami.
“Angel!” teriak Ayah di hadapanku saat aku sedang asyik bermain boneka sapi kartun lucu.
Ia kemudian mendekatiku, lalu membelakangi tubuhku, ia mengunakan kedua tangannya di kepalaku sambil menepuk kedua tangannya dengan kencang. Terdengar suara tepukan tepat di belakang kepalaku. Ayah melakukannya berulang-ulang hingga ia berhenti dan menarik nafas panjang. Nenek  yang mendengar suara tepukan tangan itu keluar dari dapur menuju ruangan dimana aku dan Ayah berada. Ia melihat tingkah Ayah dan bertanya,
“Sedang apa kamu Martin?” panggil Nenekku. Martin adalah nama Ayahku.
“Ibu, aku merasa Angel tidak bisa mendengar apa yang aku lakukan, bahkan ia tidak bisa merespon tepukan tangan tepat di belakangnya. Bila ia bisa mendengar, harusnya ia akan terkejut. Tapi ia diam saja.”
Nenek kemudian mendekatiku yang masih asyik bermain boneka. Ia memandangku dan berbicara pada Ayah sambil memegang kepalaku dengan lembut.
“Ibu juga merasa ada yang tidak beres dengannya. Bagaimana kalau kita coba bawa ke dokter? Mungkin mereka bisa menemukan jawabannya.”
“Baiklah Bu. Aku akan mandi dulu. Setelah makan malam aku akan membawa Angel ke dokter.”
“Ibu juga ingin ikut,” kata Nenekku.
***

Sesungguhnya kecemasan Ayah karena aku tidak bisa merespon dan mendengar apapun yang diperintahkan sudah sejak lama disimpannya,  tapi ia mulai menyadari bahwa aku bukanlah anak autis. Pikiran itu akhirnya runtuh sampai hari ini. Ia benar-benar harus mencoba mencari tahu apa yang terjadi padaku. Setelah aku menikmati makam malam buatan Nenek dan merasa kenyang, aku tertidur dan ketika terbangun, aku sudah berada di Rumah Sakit. Seorang dokter tampak sedang memeriksa telingaku dengan senter kecil berwarna putih yang cukup aneh bagiku.
Dokter perempuan itu tersenyum padaku. Lalu usai pemeriksaan itu, Nenek langsung mengajakku untuk jalan-jalan di sekitar ruangan Rumah Sakit, agar tidak mengganggu pembicaraan Ayah dengan Dokter.
Ayah berbicara dengan  Dokter Intan yang notabene adalah seorang  spesialis telinga.
“Bagaimana Dok, dengan kondisi Angel? Mengapa dia tidak bisa merespon panggilan dan kata-kata saya?”
“Dengan sangat menyesal, saya harus mengatakan kalau anak Bapak adalah seorang tunarungu…”
“Tunarungu? Bagaimana bisa?” (Tunarungu: orang yang terlahir cacat pada pendengarannya)
“Melihat catatan kelahiran dan kesehatannya, pada anak Bapak yang lahir secara prematur, segala kemungkinan bisa terjadi. Tunarungu adalah salah satu hal yang bisa terjadi pada setiap anak-anak yang terlahir secara prematur. Jadi dalam dunia medis, cacat lahir bawaan ini adalah hal yang bisa terjadi di setiap  10 banding 1000 kelahiran bayi.”
Ayah terdiam.
“Bapak tidak perlu bersedih ataupun panik, dewasa ini sudah banyak pendidikan dan orang yang hidup dengan kondisi yang sama dengan anak Bapak. Anak Bapak tetap bisa memiliki masa depan yang baik. Bila sejak dini kita mendidik dan mengajarinya, kelak anak itu akan tumbuh seperti anak-anak normal lainnya dan masyarakat kita sudah bisa menerima keadaan seperti ini.”
“Tapi keadaan ini sangat membuat saya sedih. Kasihan anak itu, ia tidak menyadari keadaannya, apa yang harus saya lakukan untuk memberitahunya? Apa yang harus ajarkan padanya saat ia mulai tumbuh jadi besar? Dan yang paling saya cemaskan, bagaimana caranya ia tau keadaannya sendiri? Apa yang harus saya jelaskan sedangkan dia sendiri tidak bisa mendengar dan bahkan tak  mengerti apa yang saya katakan?” kata Ayah dengan wajah sedih dan menahan air mata.
Dokter mencoba membuat Ayah tegar, lalu berpikir sejenak sampai akhirnya ia mengambil kartu nama dan memberikannya  pada Ayah. Dokter merekomendasikan seorang kenalan yang ia pikir bisa membantu masalah Ayah.
“Begini saja, saya memiliki seorang kenalan yang sudah berpengalaman untuk mendidik  bagaimana caranya menjadi orang tua tunarungu, mungkin ia bisa membantu Bapak dalam masalah ini.”
“Maksudnya ‘dia’ Dokter?”
“Beliau adalah seorang ibu yang juga memiliki anak tunarungu. Beliau berhasil menjadi pendidik bagi orang tua yang melahirkan anak-anak tunarungu. Saya yakin dengan senang hati ia akan membantu Bapak agar bisa menjadi orang tua yang baik. Simpanlah kartu nama ini, katakanlah bahwa saya yang merekomondasikannya pada Bapak.”
“Terima kasih Dokter!”
Ayah keluar dari ruangan Dokter dengan wajah sedih. Ia membaca kartu nama itu dengan teliti dan berharap banyak pada Ibu yang berpengalaman itu dapat menyelamatkan hidupku. Saat itu, Nenek baru saja memberikanku eskrim coklat dan ketika melihat Ayah aku langsung mendekatinya. Nenek bertanya kepada Ayah yang tampak murung.
“Bagaimana hasilnya, Tin?”
“Angel positif tunarungu, Bu…”
Nenek ingin menangis ketika mendengar kalimat itu keluar dari mulut Ayah, tapi ia tidak ingin membuat Ayah lebih bersedih. Di saat seperti ini, hanya dialah orang yang bisa menghibur dan menguatkan hati  Ayah untuk membesarkanku. Ayah memang bukanlah seorang ibu, tapi ia memiliki ibu yang berpengalaman merawatnya hingga dewasa seorang diri tanpa suaminya (Kakekku). Kakek meninggal saat ayah berusia  tiga tahun karena kecelakaan kereta api. Apa yang terjadi pada Ayah saat ini, seperti halnya pernah terjadi pada Nenek saat itu.
Tapi Nenek memang luar biasa, ia berhasil hidup menjadi orang tua tunggal bagi Ayah dan kini ia harus membuat Ayah juga sekuat Nenek.

bersambung

Sumber : KLIK DISINI

True story Gitta Sesa Wanda Cantika

Novel Surat kecil untuk Tuhan ( True story Gitta Sesa Wanda Cantika )

Adalah sebuah novel yang diangkat dari kisah nyata keke, seorang gadis remaja Indonesia yang telah meninggal tahun 2006 karena kanker ganas. Buku ini terjual lebih dari 50.000 exp, tahun 2011 telah diadaptasi ke layar lebar. Kisah Keke pernah di ulas dalam acara kick Andy dan ribuan air mata telah berjatuhan setelah membaca kisahnya.
( Buku ini bisa didapatkan di seluruh toko buku di indonesia dengan harga 38.800 ( bonus cd), sebagian penjualan buku akan disumbangkan ke yayasan kanker. filmnya sudah ditayangkan pada 15 feburary 2011)

Hai Sobat, namaku Keke. Umurku 13 tahun ketika aku divonis mengalami penyakit kanker ganas bernama Rabdomiosarkoma, sulit bagiku untuk mengerti penyakit apa yang menyerang bagian wajahku itu bahkan untuk menyebut ulang nama penyakit itu, aku sangat kesulitan. Dokter bilang aku terkena kanker jaringan lunak yang sangat langkah dan menjadi orang pertama di Indonesia yang mengalami penyakit itu.
Aku sedih ketika ayahku menangis menolak permintaan dokter untuk melakukan operasi di wajahku. Dokter bilang: bila aku tidak melakukan operasi, maka hidupku tidak akan bertahan lama lebih dari 3 bulan. Aku sangat terkejut, karena penyakit itu tidak memiliki tanda-tanda apapun selain aku mengalami sakit mata yang diikuti dengan mimisan yang terjadi selama seminggu. Kanker itu hanya seukuran kuku jariku dan bersarang di bagian pelipis mataku, tapi operasi itu mengharuskan aku kehilangan sebagian wajah kiri dan mataku.

Ayahku tentu tidak akan rela aku kehilangan bagian wajahku karena aku adalah seorang anak gadis yang akan tumbuh dewasa bagaimanapun kelak. Aku tidak pernah paham seberapa menakutkan penyakit itu hingga aku merasakan sendiri bagian wajahku mulai membengkak sebesar bola tenis dan buta. Ketika aku menangis merasakan kesakitan, ayahku tidak pernah mau jujur mengatakan penyakit itu. Hingga akhirnya aku berjuang hidup selama 3 bulan mencari pengobatan tradisional dan seseorang ulama mengatakan padaku aku terserang kanker.
Perasaanku saat itu sangat hancur, aku tau hidupku tidak akan lama lagi dengan keadaan buta dan kehilangan pernafasan hidung sebelah kiriku. Aku menangis dan protes kepada Tuhan, mengapa ia tega merenggut masa remajaku dan kesempatanku untuk menjadi penyanyi dan model. Air mata yang berjatuhan setiap harinya tak pernah kulewatkan ketika rasa sakit kanker itu datang. Walau demikian aku sungguh beruntung, sahabat-sahabatku, keluargaku dan kekasihku selalu ada disampingku untuk memberikan dukungan tanpa henti.

Ketika aku mulai pasrah Tuhan menjemputku, Aku hanya berdoa berharap kepada Tuhan agar ia memberikan aku waktu lebih lama di dunia ini untuk mengucapkan selama berpisah dengan sahabat, kekasihku dan terutama untuk membuat ayahku bahagia lebih lama.Disaat itu aku tidak mampu berdiri dan mengalami kritis. Tuhan mendengar doaku, disaat itulah aku mendapatkan sebuah mujizat, seorang dokter menyelamatkanku dari penyakit itu disaat-saat terakhir hidupku. aku sembuh dan kanker diwajahku menghilang secara ajaib.

Aku merasakan kebaikan tuhan padaku dan melawan vonis kematian yang dikatakan dokter padaku, aku pun berjanji padanya mulai saat itu untuk bersyukur akan kehidupan yang ia berikan padaku. Usai penyakit itu hilang dalam hidupku, Aku melewatkan hari-hariku dengan bahagia bersama keluarga dan teman-temanku, aku menghabiskan waktuku dengan belajar kitab suci dan mendekatkan diriku pada Tuhan. Hidup-hidupku pun berlalu dengan bahagia walaupun pada akhirnya hal yang tak kuharapkan terjadi lagi dalam hidupku ketika kanker itu kembali padaku, kini ia menyerang wajah sebelah kananku.
 Disaat aku mendapatkan vonis itu kembali, aku tidak lagi takut dan aku tidak lagi marah kepada Tuhan. Aku bersyukur padanya, ia memberikan aku kesempatan lebih lama di dunia ini untuk dapat bersama sahabat, keluargaku dan kekasihku.Walau air mata berjatuhan disampingku, aku berusaha untuk tegar dan mengatakan kepada semua orang, kalau ujian dalam hidupku adalah tanda sayang Tuhan kepadaku.

Dokter yang menyelamatkan hidupku pertama kalinya menyerah, ia tidak sanggup lagi menyelamatkanku. Aku hanya tersenyum dan berjanji untuk bertahan hidup hingga aku bisa melewatkan ujian terakhirku di dunia ini agar bisa lulus di bangku SMP. Walau aku buta dan lumpuh, aku berjanji pada Tuhan dan sahabat-sahabatku untuk lulus dan memakai seragam SMA.

Sobat, hidup adalah anugerah yang indah. Atas kebaikan Tuhan, aku mampu mengikuti ujian sekolah dengan kondisiku yang semakin parah. Aku bersyukur karena bisa lulus dengan baik dan sampai akhirnya mampu memakai seragam rok abu-abu bersama sahabat-sahabatku walau hanya sehari disaat sebelum aku harus dilarikan ke rumah sakit karena darah terus mengalir di hidungku.Kematianku semakin dekat dan itu bisa kurasakan disaat hembusan nafasku semakin berat.

Tapi aku tidak ingin pergi dari dunia ini tanpa menuliskan suratku kepada Tuhan..surat yang telah membuatku hidup sebagai seorang gadis yang berjuang untuk hidup dan ribuan anak-anak lain yang mengalami penyakit kanker yang sama denganku.
Aku berharap ketika aku tidak ada lagi di dunia ini, kisahku menjadi inspirasi bagi siapapun yang ada di dunia ini untuk bersyukur akan hidup. Karena Tuhan begitu mencintai kita dengan cobaannya.
Sobat.. bila ada tawa di dunia ini, maka akan ada tangis disampingnya.
In memorial gitta sessa wanda cantika.

Surat Kecil Untuk Tuhan


Tuhan…
Andai aku bisa kembali
Aku tidak ingin ada tangisan di dunia ini.

Tuhan…
Andai aku bisa kembali
Aku berharap tidak ada lagi hal yang sama terjadi padaku,
terjadi pada orang lain.

Tuhan…
Bolehkah aku menulis surat kecil untuk-Mu

Tuhan…
Bolehkah aku memohon satu hal kecil untuk-Mu

Tuhan…
Biarkanlah aku dapat melihat dengan mataku
Untuk memandang langit dan bulan setiap harinya..

Tuhan…
Izinkanlah rambutku kembali tumbuh, agar aku bisa menjadi wanita seutuhnya.

Tuhan…
Bolehkah aku tersenyum lebih lama lagi
Agar aku bisa memberikan kebahagiaan
kepada ayah dan sahabat-sahabatku

Tuhan…
Berikanlah aku kekuatan untuk menjadi dewasa
Agar aku bisa memberikan arti hidup
kepada siapapun yang mengenalku..

Tuhan ..
Surat kecil-ku ini
adalah surat terakhir dalam hidupku
Andai aku bisa kembali…
Ke dunia yang Kau berikan padaku..
In memorial,
Gita Sesa Wanda Cantika.
19/06/91-25/12/06


Sumber : silahkan KLIK DISINI